Rabu, 30 Maret 2011

Penggolongan Plankton Berdasarkan Sebaran Vertikal

Plankton hidup di laut mulai dari lapisan tipis di permukaan sampai pada kedalaman yang sangat dalam. Dilihat dari sebaran vertikalnya plankton dapat dibagi menjadi:

a. Epiplankton
Epiplankton adalah plankton yang hidup di lapisan permukaan sampai kedalaman sekitar 100 m. Lapisan laut teratas ini kira-kira sedalam sinar matahari dapat menembus. Namun dari kelompok epilankton ini ada juga yang hanya hidup di lapisan yang sangat tipis di permukaan yang langsung berbatasan dengan udara. Plankton semcam ini disebut neuston. Contoh yang menarik adalah fitoplankton Trichodesmium, yang merupakan sianobakteri berantai panj ang yang hidup di permukaan dan mempunyai keistimewaan dapat mengikat nitrogen langsung dari udara. Neuston yang hidup pada kedalaman sekitar 0-10 cm disebut hiponeuston. Ternyata lapisan tipis ini mempunyai arti yang penting karena bisa mempunyai komposisi j enis yang kompleks.
Dari kelompok neuston ini ada juga yang mengambang di permukaan dengan sebagian tubuhnya dalam air dan sebagian lain lagi tersembul ke udara. Yang begini disebut pleuston.

b. Mesoplankton
Mesoplankton yakni plankton yang hidup di lapisan tengah, pada kedalaman sekitar 100-400 m (jangan dikelirukan dengan ukuran plankton yang istilahnya sama). Pada lapisan ini intensitas cahaya sudah sangat redup sampai gelap. Oleh sebab itu, di lapisan ini fitoplankton, yang memerlukan sinar matahari untuk fotosintesis, umumnya sudah tidak dijumpai. Lapisan ini dan lebih dalam didominasi oleh zooplankton. Beberapa kopepod seperti Eucheuta marina tersebar secara vertikal sampai ke lapisan ini atau lebih dalam. Dari kelompok eufausid juga banyak yang terdapat di lapisan ini, misalnya Thysanopoda, Euphausia, Thysanoessa, Nematoscelis. Tetapi eufausid ini juga dapat melakukan migrasi vertikal sampai ke lapisan di atasnya.

c. Hipoplankton
Hipoplankton adalah plankton yang hidupnya pada kedalaman lebih dari 400 m. Termasuk dalam kelompok ini adalah batiplankton (bathyplankton) yang hidup pada kedalaman > 600 m, dan abisoplankton (abyssoplankton) yang hidup di lapisan yang paling dalam, sampai 3000 - 4000 m.
Sebagai contoh, dari kelompok eufausid, Bentheuphausia ambylops (Gambar 13) dan Thysanopoda adalah jenis tipikal laut-dalam yang menghuni perairan pada kedalaman lebih dari 1500 m. Kelompok kaetognat Eukrohnia hamata, dan Eukrohnia bathypelagica (Gambar 13) termasuk yang hidup pada kedalaman lebih dari 1000 m.

Penggolongan Plankton Berdasarkan Sebaran Horizontal

Plankton terdapat dilingkungan air tawar hingga tengah samudra. Dari perairan tropis hingga ke perairan kutub. Boleh dikatakan tak ada permukaan laut yang tidak dihuni oleh plankton. Berdasarkan sebaran horizontalnya, plankton dibagi menjadi:

a. Plankton Neritik
Plankton neritik (neritic plankton) hidup di perairan pantai dengan salinitas (kadar garam) yang relatif rendah. Kadang-kadang masuk sampai ke perairan payau di depan muara dengan salinitas sekitar 5¬10 psu (practical salinity unit; dulu digunakan istilah °/oo atau permil, g/kg). Akibat pengaruh lingkungan yang terus-menerus berubah disebabkan arus dan pasang surut, komposisi plankton neritik ini sangat kompleks, bisa merupakan campuran plankton laut dan plankton asal perairan tawar. Beberapa di antaranya malah telah dapat beradaptasi dengan lingkungan estuaria (muara) yang payau, misalnya Labidocera muranoi.

b. Plankton Oseanik
Plankton oseanik (oceanic plankton) hidup di perairan lepas pantai hingga ke tengah samudra. Karena itu plankton oseanik ditemukan pada perairan yang salinitasnya tinggi. Karena luasnya wilayah perairan oseanik ini, maka banyak jenis plankton tergolong dalam kelompok ini.
Penggolangan seperti di atas tidaklah terlalu kaku, karena ada juga plankton yang hidup mulai dari perairan neritik hingga oseanik hingga dapat disebut neritik-oseanik.

Penggolongan Plankton Berdasarkan Daur Hidup

Berdasarkan daur hidupnya plankton dibagi menjadi :

a. Holoplankton
Dalam kelompok ini termasuk plankton yang seluruh daur hidupnya dijalani sebagai plankton, mulai dari telur, larva, hingga dewasa. Kebanyakan zooplankton termasuk dalam golongan ini. Contohnya : kokepod, amfipod, salpa, kaetognat. Fitoplankton termasuk juga umumnya adalah holoplankton.

b. Meroplankton
Plankton dari golongan ini menjadi kehidupannya sebagai plankton hanya pada tahap awal dari daur hidup biota tersebut, yakni pada tahap sebagai telur dan larva saja. Beranjak dewasa ia akan berubah menjadi nekton, yakni hewan yang dapat aktif berenang bebas, atau sebagai bentos yang hidup menetap atau melekat didasar laut. Oleh sebab itu, meroplankton sering pula disebut sebagai plankton sementara.
Pada umumnya ikan menjalai hidupnya sebagai plankton ketika masih dalam tahap telur dan larva kemudian menjadi nekton sstelah dapat berenang bebas. Kerang dan karang adalah contoh hewan yang pada awalnya hidup sebagai plankton pada tahap telur hingga larva, yang selanjutnya akan menjalani hidupnya sebagai bentos yang hidup melekat atau manancap didasar laut.
Meroplankton ini sangat banyak ragamnya dan umumnya mempunyai bentuk yang sangat berbeda dari bentuk dewasanya. Larva crustacea seperti udang dan kepiting mempunyai perkembangan larva yang bertingkat – tingkat dengan bentuk yang sedikitpun tidak menunjukkan persamaan dengan bentuk yang dewasa. Pengetahuan mengenai meroplankton ini menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan upaya buidaya udang, crustacea, mollusca, dan ikan.

c. Tikoplankton
Tikoplankton sebenarnya bukanlah plankton yang sejati karena biota ini dalam keadaan normalnya hidup didasar laut sebagai bentos. Namun karena gerak air menyebabkan ia terlepas dari dasar dan terbawa arus mengembara sementara sebagai plankton.

Penggolongan Plankton Berdasarkan Ukuran

Ukuran plankton sangat beraneka ragam, dari yang sangat kecil kingga yang besar, yakni:

a. Plankton jaring (netplankton)
Plankton yang dapat tertangkap dengan jaring dengan mata jaring (mesh size) berukuran 20 ,um, atau dengan kata lain plankton berukuran lebih besar dari 20 ,um.

b. Nanoplankton
Plankton yang lolos dari jaring, tetapi lebih besar dari 2,um. Atau berukuran 2-20 ,um

c. Ultrananoplankton
Plankton yang berukuran lebih kecil dari 2 µm. Kini, dengan kemajuan teknik penyaringan yang dapat lebih baik memilah-milah partikel yang sangat halus, penggolongan plankton berdasarkan ukurannya lebih berkembang. Penggolongan di bawah ini diusulkan oleh Sieburth dkk. (1978) yang kini banyak diacu orang.

d. Megaplankton (20-200 cm)
Ada juga yang menyebutnya megaloplankton. Banyak ubur¬ubur termasuk dalam golongan ini. Ubur-ubur Schyphomedusa, misalnya bisa mempunyai ukuran diameter payungnya sampai lebih dari satu meter, sedangkan umbai-umbai tentakelnya bisa sampai beberapa meter pajangnya. Plankton raksasa yang berukuran terbesar di dunia adalah ubur-ubur Cyanea arctica yang payungnya bisa berdiameter lebih dua meter dan dengan panjang tentake130 m lebih .

e. Makroplankton (2-20 cm)
Contohnya adalah eufausid, sergestid, pteropod. Larva ikan banyak pula termasuk dalam golongan ini.

f. Mesoplankton (0,2-20 mm)
Sebagian besar zooplankton berada dalam kelompok ini, seperti kopepod, amfipod, ostrakod, kaetognat. Ada juga beberapa fitoplankton yang berukuran besar masuk dalam golongan ini seperti Noctiluca.

Penggolongan Plankton Berdasarkan Fungsi

Plankton digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu fitoplankton, zooplankton, bakterioplankton, dan virioplankton.

a. Fitoplankton
Fitoplankton disebut juga plankton nabati, adalah tumbuhan yang hidupnya mengapung atau melayang dilaut. Ukurannya sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat oleh mata telanjang. Umumnya fitoplankton berukuran 2 – 200µm (1 µm = 0,001mm). fitoplankton umumnya berupa individu bersel tunggal, tetapi juga ada yang berbentuk rantai.
Meskipun ukurannya sangat kecil, namun fitoplankton dapat tumbuh dengan sangat lebat dan padat sehingga dapat menyebabkan perubahan warna pada air laut.
Fitoplankton mempunyai fungsi penting di laut, karena bersifat autotrofik, yakni dapat menghasilkan sendiri bahan organic makanannya. Selain itu, fitoplankton juga mampu melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan bahan organic karena mengandung klorofil. Karena kemampuannya ini fitoplankton disebut sebagai primer producer.
Bahan organic yang diproduksi fitoplankton menjadi sumber energi untuk menjalan segala fungsi faalnya. Tetapi, disamping itu energi yang terkandund didalam fitoplankton dialirkan melalui rantai makanan. Seluruh hewan laut seperti udang, ikan, cumi – cumi sampai ikan paus yang berukuran raksasa bergantung pada fitoplankton baik secara langsung atau tidak langsung melalui rantai makanan.

b. Zooplankton
Zooplankton, disebut juga plankton hewani, adalah hewan yang hidupnya mengapung, atau melayang dalam laut. Kemampuan renangnya sangat terbatas hingga keberadaannya sangat ditentukan ke mana arus membawanya. Zooplankton bersifat heterotrofik, yang maksudnya tak dapat memproduksi sendiri bahan organik dari bahan inorganik. Oleh karena itu, untuk kelangsungan hidupnya is sangat bergantung pada bahan organik dari fitoplankton yang menjadi makanannya. Jadi zooplankton lebih berfungsi sebagai konsumen (consumer) bahan organik.
Ukurannya yang paling umum berkisar 0,2 - 2 mm, tetapi ada juga yang berukuran besar misalnya ubur-ubur yang bisa berukuran sampai lebih satu meter. Kelompok yang paling umum ditemui antara lain kopepod (copepod), eufausid (euphausid), misid (mysid), amfipod (amphipod, kaetognat (chaetognath). Zooplankton dapat dijumpai mulai dari perairan pantai, perairan estuaria di depan muara sampai ke perairan di tengah samudra, dari perairan tropis hingga ke perairan kutub.
Zooplankton ada yang hidup di permukaan dan ada pula yang hidup di perairan dalam. Ada pula yang dapat melakukan migrasi vertikal harian dari lapisan dalam ke permukaan. Hampir semua hewan yang mampu berenang bebas (nekton) atau yang hidup di dasar Taut (bentos) menjalani awal kehidupannya sebagai zooplankton yakni ketika masih berupa terlur dan larva. Baru dikemudian hari, menjelang dewasa, sifat hidupnya yang semula sebagai plankton berubah menjadi nekton atau bentos.

c. Bakterioplankton
Bakterioplankton, adalah bakteri yang hidup sebagai plankton. Kini orang makin memahami bahwa bakteri pun banyak yang hidup sebagai plankton dan berperan penting dalam lour hara (nutrient cycle) dalam ekosistem Taut. la mempunyai ciri yang khas, ukurannya sangat halus (umumnya < style="letter-spacing: -0.15pt;">mempunyai klorofil yang dapat berfotosintesis. Fungsi utamanya dalam ekosistem laut adalah sebagai pengurai (decomposes). Semua biota laut yang mati, akan diuraikan oleh bakteri sehingga akan menghasilkan hara seperti fosfat, nitrat, silikat, dan sebagainya. Hara ini kemudian akan didaur-ulangkan dan dimanfaatkan lagi oleh fitoplankton dalam prows fotosintesis.

d. Virioplankton
Virioplankton adalah virus yang hidup sebagai plankton. Virus ini ukurannya sangat kecil ( kurang dari 0,2 um ) dan menjadikan biota lainnya, terutama bakterioplankton dan fitoplankton, sebagai inang (host). Tanpa inangnya virus ini tak menunjukkan kegiatan hayati. Tetapi virus ini dapat pula memecahkan dan mematikan sel-sel inangnya. Baru sekitar dua dekade lalu para ilmuwan banyak mengkaji virioplankton ini dan menunjukkan bahwa virioplankton pun mempunyai fungsi yang sangat penting dalam daur karbon (carbon cycle) di dalam ekosistem laut.

FITOPLANKTON ALTERNATIF Cocolite sp., PACU PRODUKSI BENIH KERAPU BEBEK

Penggunaan Cocolite sp. Sebagai Fitoplankton Alternatif dalam Pemeliharaan Larva Kerapu Bebek Dapat Meningkatkan Produksi Benih Sehingga Mampu Turut Serta dalam Mendukung Peningkatan Target Produksi di Tahun 2015 dan Berusaha Memenuhi Permintaan Kerapu Bebek di Pasar Internasional.

Chlorella sp. merupakan salah satu jenis fitoplankton yang digunakan dalam pemeliharaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) sebagai peneduh atau penyangga kualitas air. Secara umum diketahui bahwa produksi massal fitoplankton termasuk Chlorella sp. tergantung pada kondiisi alam termasuk sinar matahari (keadaan cuaca). Di BBL Ambon ketersediaan fitoplankton jenis Chlorella sp. pada musim penghujan tidak stabil sehingga kontinuitas penyediaan fitoplankton menjadi tidak menentu. Akibat dari ketidakstabilan fitoplankton tersebut berpengaruh terhadap pemeliharaan larva kerapu bebek (C. altivelis). Salah satu upaya mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan fitoplankton alternatif. Cocolite sp. merupakan salah satu jenis fitoplankton yang dibiakkan di laboratorium pakan alami Balai Budidaya Laut Ambon. Secara visual Cocolite sp. berwarna hijau kebiruan, bentuk selnya bervariasi ( oval, elips, bulat telur dan silindris), mempunyai ukuran 2-8 µm, dapat digunakan sebagai pakan zooplankton (rotifer dan artemia) dan dalam kondisi musim hujan dapat tumbuh dengan baik.

Dalam upaya meningkatkan benih kerapu bebek ketika kondisi alam tidak mendukung untuk pertumbuhan jenis fitoplankton yang biasa digunakan, maka Cocolite sp. digunakan sebagai fitoplankton alternatif dalam pemeliharaan larva kerapu bebek (C. altivelis). Hal ini dikareakan di saat kondisi cuaca tidak stabil jenis fitoplankton ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

PENGGUNAAN Cocolite sp.

Berdasarkan laporan dari tim pakan alami (contact person) bahwa rotifer dapat bertumbuh dengan baik ketika diberi pakan fitoplankton Cocolite sp. hal ini membuktikan bahwa Cocolite sp. aman atau tidak mengandung racun bagi organisme yang memakannya, bahkan dapat memberikan pertumbuhan yang baik (bagi rotifer).Berdasarkan hasil analisa proximate, tepung Cocolite sp. mengandung 13,5%, Karbohidrat 6,56%, lemak 0,2%, Abu 66,69% dan air 12,75%. Dibandingkan dengan fitoplankton yang lazim digunakan untuk pemeliharaan larva, kandungan protein dan lemaknya lebih rendah. Walaupun demikian, penggunaan fitoplankton Cocolite sp. dalam kegiatan pembenihan kerapu bebek (untuk pakan rotifer dan pemeliharaan larva) dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan dimana dari 100.000 butir telur/bak yang ditebar, rata-rata 80.000 butir/bak (HR=80 %) menetas menjadi larva dan dapat bertahan hidup sampai panen (umur 60 HSM) sebanyak 2000 ekor (SR=2,5%) dengan ukuran berkisar antara 1.5 cm - 3 cm dengan tingkat keseragaman 90% dan tingkat keabnormalan 5%.

Hasil pemeliharaan larva kerapu bebek dengan fitoplankton Cocolite sp. tersebut relatif sama bila menggunakan Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dimana tingkat Kelulusan hidup larva (SR) 1,66% dan HR sebesar 85,1% (Suharno dkk, 2009). Hal ini diasumsikan karena nutrisi yang diperoleh larva bukan saja berasal dari Cocolite sp. tetapi juga diperoleh dari rotifer dan artemia yang telah diberi pengkayaan sebelum diberikan kepada larva serta pakan buatan sehingga kebutuhan nutrisi larva kerapu bebek untuk tumbuh dan berkembang dapat terpenuhi. Adapun kualitas air selama pemeliharaan yang terpantau adalah suhu 27.7°C – 30.8°C, DO 3.22- 4.00 ppm, salinitas 29.3 – 33.5, pH 7.70 – 8.61, nitrit 0.389 – 0.500 dan amonia 0.03 – 0.593 yang mana nilai-nilai tersebut masih berada pada kisaran aman untuk pemeliharaan larva kerapu bebek.
(Narulitta Ely, Marwa, Ris Dewi, Khabibbulloh, Ramlan, @BBL Ambon)


sumber : http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id

Jepang Lirik Potensi Ikan Sidat Indonesia

Jepang kini melirik potensi budidaya ikan sidat (Anguilla sp) di Indonesia. Kebutuhan pasar ikan sidat di jepang mencapai 40.000 ton per tahun atau senilai 1,7 miliar dolar AS. Jumlah konsumsi itu menurun akibat merosotnya suplai benih dan ikan sidat, Menurut Acting General Maneger Restaurant Express Co Ltd Shioji Takaoka di Jakarta, Rabu (23/3), sekitar 70 persen kebutuhan ikan sidat di Jepang dipasok dari China dan Taiwan. Kendalanya, sebagian sidat itu ditemukan mengandung reiu dan zat kimia berbahaya sehingga Jepang kini sangat berhati-hati dalam meng impor sidat dari China dan Taiwan. "Kami mencari mitra usaha di Indonesia untuk budidaya sidat yang siap di ekspor ke Jepang,"ujar Shioji.


SUMBER : KOMPAS 24 MARET 2011, HAL 18

Selasa, 29 Maret 2011

Revitalisasi Tambak Garam Segera

JAKARTA - Pemerintah daerah (pemda) diminta memulai program revitalisasi tambak garam. Pasalnya, dari total 34 ribu hektare, hanya separo yang berproduksi. Padahal untuk mencukupi kebutuhan garam di dalam negeri, dibutuhkan lahan tambak seluas 50 hektare. "Kita minta pemda (bupati sampai camat) memberikan rekomendasi revitalisasi tambaknya. Kita siapkan anggaran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan sebagian dari APBN-P sebesar 10 miliar rupiah bagi daerah yang mau mengembangkan tambak," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad di Jakarta, Selasa (18/5).

Selain menyediakan anggaran, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjanjikan bantuan peralatanproduksi untuk menggairahkan kembali produksi garam nasional. Data KKPmenunjukkan total kebutuhan garam di dalam negeri 2,8 juta ton dengan komposisi 1,7 juta ton untuk konsumsi dan 1,15 juta ton untuk kebutuhan produksi. Dari angka tersebut, kemampuan produksi di dalam negeri 1,26 juta ton danimportasi 1,6 juta ton.

"Angka impor masih besar, maka perlu dibatasi. Tata niagu is a juga perlu diubah. Kita juga sudah mengambil alih PT Garam yang selama ini lesu darah dan suka impor," ungkap dia.Untuk mencapai target swasembada garam pada 2012, KKP menyiapkan sejumlah langkah, di antaranya memperbaiki kelembagaan, infrastruktur (dengan menggandeng Pekerjaan Umum), perbaikan regulasi, dan tata niaga garam. "Kalau produksi dalam negeri dimaksimalkan dan beryodium, maka kebutuhan garam konsumsi 1,7 juta ton bisa terpenuhi 2012," papar dia.

Saat ini, sentra produksi garam berlokasi di Pantai Utara Jawa, Madura, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi.
Direktur PT Garam Slamet Untung Irridenta menyatakan, sampai saat ini, harga garam masih sangat murah dan tidak manusiawi, (ika di tingkat collecting point (pengepul) harganya 400 rupiah per kilogram, harga di petani hanya 90 rupiah per kilogram.

Meski menyebut harga garam dalam negeri murah, PT Garam justru masih melakukan impor dari Australia karena harganya lebih murah. Selain itu, PT Garam berdalih lebih memilih impor karena tidak memiliki kewajiban untuk menyerap garam produksi petambak tradisional. "Importir bukan monopoli kita karena trader dan pengguna masih melirik impor karena harganya tidak berbeda jauh," imbuh dia.


sumber: http://bataviase.co.id

Selasa, 22 Maret 2011

Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir

Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar. Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, penge-tahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas per-airan (Abel, 1989; Rosenberg and Resh, 1993).

Metode kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem saprobik (Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik berdasarkan spesies hewan dan tanaman spesifik. Hynes (1978) ber-pendapat bahwa sistem saprobik mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap pengaruh buangan yang bersifat toksik. Tidak ditemukannya makrozoobentos tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik, sebab mungkin dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).

Adanya kelemahan sistem saprobik, maka untuk menilai kualitas perairan, secara kuantitatif dilakukan metode pendekatan memakai model-model matematik. Metode ini dikembangkan berdasarkan terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam kualitas lingkungan perairan karena berlangsungnya pencemaran. Model yang umum digunakan adalah dengan me-ngetahui indeks keragaman jenis, keseragaman populasi dan dominansi jenis (Magurran, 1988).

Keragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya terdapat beberapa jenis yang melimpah. Perbandingan antara keragaman dan keragaman maksimum dinyatakan se-bagai keseragaman populasi, yang disimbulkan dengan huruf E. Nilai E ini berki-sar antara 0 - 1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan satu spesies mendominasi, begitu pula sebaliknya semakin besar nilai E maka tidak ada jenis yang mendominasi. Untuk melihat dominasi suatu spesies digunakan indeks dominansi (C).

Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis zoobentos, yang dihitung berdasarkan formulasi Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air. Wilhm (1975) menyatakan bahwa air yang tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya kecil dari satu. Jika berkisar antara satu dan tiga, maka air tersebut setengah tercemar. Air bersih, indeks keragaman zoobentosnya besar dari tiga. Staub et all. dalam Wilhm (1975) menyatakan bahwa berdasarkan indeks keragaman zoobentos, kualitas air dapat dikelompokkan atas: tercemar berat (02,0).

Hellawel (1986); Rosenberg and Wiens (1989) dalam Rosenberg dan Resh (1993) menyatakan bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme indikator adalah: a). mudah diidentifikasi, b). tersebar secara kosmopolit, c). kelimpahan dapat dihitung, d). Variabilitas ekologi dan genetik rendah, e). ukuran tubuh relatif besar, f). mobilitas terbatas dan masa hidup relatif lama, g). karakteristik ekologi diketahui dengan baik, dan h). terintegrasi dengan kondisi lingkungan serta i). cocok untuk digunakan pada studi laboratorium. Rondo (1982) mengemukakan bahwa suatu takson dapat dikatakan indikator, jika takson tersebut berstatus ekslusif dengan fekuensi kehadiran minimal 50%, karakteristik dengan frekuensi kehadiran 50%, dan predominan. Suatu takson dikatakan predominan ji-ka kepadatan relatifnya minimal 10%.

Beberapa organisme makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies indikator kandungan bahan organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan pengujian secara fisika-kimia (Hynes, 1978). Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemaran organik adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan diidentifikasikan, bersifat immobile, dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Abel, 1989; Hellawel, 1986 dalam Rosenberg dan Resh, 1993). Kelemahannya adalah karena sebarannya mengelompok dan dipengaruhi oleh faktor hidrologi seperti arus, dan kondisi substrat dasar (Hawkes, 1978).

Spesies Indikator

Keberadaan spesies tertentu, khususnya jika kelimpahannya cukup memadai, menunjukkan bahwa tuntutan lingkungan terpenuhi. Walaupun demikian ketidak beradaannya tidak harus menunjukan hal yang sebaliknya, contoh satu spesies bisa secara kompetitif terpisah dari suatu habitat tertentu, karena spesies yang lain.

Secara ideal, semua anggota dari sebuah komunitas haruslah dipandang sebagai indikator potensial akan kualitas air dan dicantumkan dalam peragaan monitoring biologis. Dalam prakteknya, kelompok-kelompok seperti : bakteri, alga, protozoa dan mikroinvertebrata butuh metode penyampelan yang berbeda dan perlu keahlian taksonomis yang baik. Kelompok yang umumnya dikerahkan sebagai indikator adalah fauna makroinvertebrata (makrozoobentos). Mereka punya banyak karakteristik yang diminta, dari organisme indikator (Abel, 1989).

Spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat, yang juga dikenal dengan bioindikator Tesky (2002). EPA (2002) menyatakan bahwa sebagaimana di sistem perairan tawar, biota yang hidup di perairan estuaria dan laut dapat menunjukkan kualitas perairan. Makrozoobentos (seperti polychaeta) merupakan indikator yang baik untuk kualitas air lingkungan laut karena respon mereka terhadap polutan dapat dibandingkan terhadap sistem air tawar. Polychaeta dikenal sebagai organisme yang sangat toleran terhadap tekanan lingkungan (seperti rendahnya kandungan oksigen, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah) sehingga mereka digunakan sebagai indikator lingkungan yang tertekan.

Via-Norton, A. Maher and D. Hoffman. (2002) berdasarkan kualitas perairan, khususnya perairan tawar, dapat ditemukan spesies indikator sebagai berikut:

* Indikator untuk perairan yang berkualitas baik
* Kelas Serangga
* Stonefly Nymphs (Order Plecoptera)
* Common Stonefly Nymph (Family Perlidae)
* Roach-like Stonefly Nymph (Family Peltoperlidae)
* Slinder winter Stonefly Nymph (Family Capniidae)
* Mayfly Nymphs (Order Ephemeroptera)
* Brush-Legged Mayfly Nymph (Family Oligoneuridae)
* Flatheaded Mayfly Nymph (Family Heptageniidae)
* Burrowing Mayfly Nymph (Family Ephemeridae)
* Caddisfly Larvae (Order Trichoptera)
* Net-Spinning Caddis Larva (Family Hydropsychidae)
* Fingernet Caddis Larva (Family Philopotamidae)
* Case-making Caddis Larva (Various Families)
* Free-living Caddis Larva (Family Ryacophilidae)
* Dobsonfly (Order Megaloptera, Family Corydalidae)
* Water Penny (Order Coleoptera, Family Psephenidae)
* Riffle Beetle (Order Coleoptera, Family Elmidae)
* Kelas lain
* Gilled Snail (Order Gastropoda, Family Viviparidae)
* Indikator untuk perairan berkualitas sedang (moderat)
* Kelas Seranga
* Dragonfly Nymph (Order Odonata, Suborder Anisoptera)
* Damselfly Nymph (Order Odonata, Suborder Zygoptera)
* Watersnip Fly Larva (Order Diptera, Family Athericidae)
* Alerfly Larvea (Order Megaloptera, Family Sialidae)
* Cranefly Larvae (Order Diptera, Family Tipulidae)
* Beetle Larvae (Order Coleoptera)
* Whirligig Beetle Larva (Family Gyrinidae)
* Predaceous Diving Beetle Larva (Family Dytiscidae)
* Crawling Water Beetle Larva (Family Haliplidae)
* Kelas lain
* Scuds (Order Amphipoda, Family Gammaridae)
* Sowbugs (Order Isopoda, Family Asellidae)
* Crayfish (Order Decapoda, Family Cambaridae)
* Indikator untuk perairan berkualitas buruk
* Kelas Serangga
* Midge Larva (Order Diptera, Family Chironomidae)
* Blackfly Larva (Order Diptera, Family Simulidae)
* Kelas lain
* Pouch Snail (Order Gastropoda, Family Physidae)
* Planorbid Snail (Order Gastropoda, Family Planorbidae)
* Leech (Class Hirudinea)
* Aquatic Worm (Class Oligochaeta)

Adapun untuk perairan pesisir, belum begitu banyak terungkap spesies-spesies yang dapat dijadikan indikator kualitas perairan, kecuali beberapa informasi tentang keberadaan polychaeta dan beberapa kelompok dari molluska yang menunjukkan kondisi perairan yang berada dalam keadaan kandungan oksigen yang rendah, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah.

Struktur komunitas zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik. Secara abiotik, faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos adalah faktor fisika-kimia lingkungan perairan, diantaranya; penetrasi cahaya yang berpengaruh terhadap suhu air; substrat dasar; kandungan unsur kimia seperti oksigen terlarut dan kandungan ion hidrogen (pH), dan nutrien. Sedangkan secara biologis, diantaranya interaksi spesies serta pola siklus hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas (Tudorancea et all.,1978) dan Odum (1993) mengatakan “hewan bentos adalah hewan aquatik yang sebagian atau seluruh masa hidupnya di perairan (sungai, danau, kolam dan laut) baik yang menggali lubang, sesil, atau merayap”.

Ardi (2002) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea dan larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta.
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins disitasi Ardi, 2002). Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Nurifdinsyah, 1993).

Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992).


sumber: http://acehpedia.org

Senin, 21 Maret 2011

Makrozoobentos

Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang (Kendeigh, 1980; Odum 1993; Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Odum, 1993).

Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.

Berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar ("bottom feeder") (Pennak, 1978; Tudorancea, Green dan Hubner, 1978).

Berdasarkan ukurannya, zoobentos dapat digolongkan ke dalam kelompok zoobentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan zoobentos makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3 - 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. APHA (1992) menyatakan bahwa makrozoobentos dapat ditahan dengan saringan No. 30 Standar Amerika. Selanjutnya Slack et all. (1973) dalam Rosenberg and Resh (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos merupakan organisme yang tertahan pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500 mikrometer.

Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea dan larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta.

Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975). Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Janto et all., 1981 dalam Nurifdinsyah, 1993).

Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992).

Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.

Berdasarkan teori Shelford (Odum, 1993) maka makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit.


sumber: http://acehpedia.org

Penyakit Mycobacteriosis/Fish Tuberculosis (TB)

Penyebab : Mycobacterium marinum (air laut) dan M. fortuitum (air tawar)

Bio — Ekologi Pathogen
• Bakteri gram positif, berbentuk batang pendek dan non-motil.
• Kolam tadah hujan dan pekarangan dengan sumber air terbatas lebih rentan terhadap infeksi jenis penyakit ini.
• Menunjukkan gejala yang variatif, namun sering pula tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali.
• Pola serangan mycobacteriosis bersifat kronik - sub akut, baik pada ikan air tawar, payau maupun ikan air laut.
• Suhu optimum berkisar 25-35°C, tetapi masih dapat tumbuh baik pada suhu 18-20 °C.

Gejala Klinis :
• Hilang nasfu makan, lemah, kurus, mata melotot (exopthalmia) serta pembengkakan tubuh.
• Apabila menginfeksi kulit, timbul bercak-bercak merah dan berkembang menjadi luka, sirip dan ekor geripis.
• Pada fase infeksi lanjut, secara internal telah terjadi pembengkakan empedu, ginjal dan hati; serta sering ditemukan adanya tubercle/nodule yang berwarna putih kecoklatan.
• Pertumbuhan lambat, warna pucat dan tidak indah terutama untuk ikan hias.
• Lordosis, skoliosis, ulser dan rusaknya sirip (patah-patah) dapat terjadi pada beberapa ekor ikan yang terserang.

Diagnosa :
• Isolasi dengan menggunakan media selektif, dan
diidentifikasi melalui uji bio-kimia.
• Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)

Pengendalian :
• ikan yang terinfeksi segera diambil dan dimusnahkan
• Hindari penggunaan air dari kolam yang sedang terinfeksi bakteri tersebut.
• Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau - meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
• Perendaman Chloramine B atau T 10 ppm selama 24 jam dan setelah itu dilakukan pergantian air baru.



sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Luas Konservasi Laut 20 Juta Ha

KEMENTERIAN Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong peningkatan hasil produksi budidaya laut. Salah satunya ialah dengan menargetkan area konservasi perairan seluas 15,5 juta hektare (ha) pada tahun 2014. Luas area pemeliharaan dan perlindungan di perairan laut ini naik 11,5% dibanding dengan luas konservasi tahun lalu yang mencapai 13,9 juta ha. KKP menargetkan area konservasi perairan tahun 2020 bisa mencapai 20 juta ha.

Gelwynn Jusuf, Sekretaris Jenderal KKP menjelaskan, area konservasi ini akan dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah. "Anggaran pemerintah sangat terbatas, di lain pihak untuk mengelola keragaman hayati yang luas memerlukan dana besar,"ujar Gelwynn,Kamis (17/3).

Pemerintah akan mengerahkan sumber daya lain demi mendukung pengelolahan kawasan konservasi. Misalnya dengan mengerahkan biaya perijinan pengelolaan, pajak, biaya denda akibat pelanggaran, denda polusi, hibah dari dalam dan luar negeri, program tanggung jawab sosial perusahaan, atau dana pengelolaan lingkungan oleh lembaga swadaya masyarakat nirbala.

Saat ini, pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi perairan bersumber dari anggaran pemerintah. "Sumber lain seperti bantuan luar negeri, LSM, dan hibah," lanjut Gelwynn. Meskipun demikian, menurutnya dana ini belum mencukupi kebutuhan. Sebab, untuk mengelola area di bawah 20.000 ha, dibutuhkan dana sebesar sekitar US$ 110 per ha.


SUMBER : HARIAN KONTAN HAL 15

Penyakit Streptococciasis

Penyebab : Streptococcus agalactiae, S. iniae,

Bio — Ekologi Pathogen :
• Bakteri gram positif, berbentuk bulat kecil (cocci), bergabung
menyerupai rantai, non-motil, koloni transparan dan halus.
• Infeksi Streptococcus iniae sering terjadi pada budidaya ikan air laut (kakap, kerapu), sedangkan S. agalactiae lebih banyak ditemukan pada ikan budidaya air tawar (nila).
• Pola serangan kedua jenis bakteri tersebut umumnya bersifat kronik – akut.
• Target organ infeksi Streptococcus spp. banyak ditemukan di otak dan mata. sehingga disebut "syndrome meningoencephalitis dan panophthalmitis". Penyakit ini sering dilaporkan pada sistem budidaya intensif, lingkungan perairan tenang (stagnant) dan/atau sistem resirkulasi,
• Secara kumulatif, akibat serangan penyakit ini dapat menimbulkan mortalitas 30-100% dari total populasi selama masa pemeliharaan: dan penyakit ini merupakan kendala potensial yang harus diantisipasi berkenaan dengan program intensifikasi dan peningkatan produksi nila nasional.

Gejala Klinis :
• Menunjukkan tingkah laku abnormal seperti kejang atau berputar serta mata menonjol (exopthalmus).
• Nafsu makan menurun, lemah, tubuh berwarna gelap, dan pertumbuhan lambat.
• Warna gelap di bawah rahang, mata menonjol, pendarahan, perut gembung (dropsy) atau luka yang berkembang menjadi borok.
• Adakalanya. tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas kecuali kematian yang terus berlangsung.
• Pergerakan tidak terarah (nervous) dan pendarahan pada tutup insang (operculum).
• Sering pula ditemukan bahwa ikan yang terinfeksi terlihat normal sampai sesaat sebelum mati.

Diagnosa
• Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia.
• Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)

Pengendalian:
• Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan
• Pencegahan secara dini (benih) melalui vaksinasi anti-Streptococcus spp.
• Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan
vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
• Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)



sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Senin, 14 Maret 2011

UDANG BARU : VANAME GLOBAL GEN

Satu lagi tambahan jenis udang hasil rekayasa yang baru. Udang ini diberi nama Vanname Global Gen secara resmi dilepas oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad di Lombok NTB, pekan lalu.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad saat pelepasan induk udang vaname ”global gen” itu menjelaskan bahwa, sejalan dengan program peningkatan produksi perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan target produksi perikanan sebesar 22,54 juta ton pada tahun 2014, di mana sebanyak 16,89 juta ton berasal dari perikanan budidaya.

Kementerian ini telah menetapkan 10 komoditas unggulan perikanan budidaya, salah satunya adalah udang. Komoditas ini diproyeksikan mengalami peningkatan produksi tiap tahun sebesar 13% untuk udang windu dan 16% untuk udang vaname. Produksi udang pada tahun 2014 ditargetkan sebesar 699 ribu ton, terdiri atas 188 ribu ton udang windu dan 511 ribu ton udang vaname.

Menurut data Food and Agricultural Organization (FAO) 2010, Indonesia menempati rangking 4 dunia dengan total ekspor udang vaname sebesar 140 ribu ton untuk tahun 2007. Rangking Indonesia pada tahun 2008 ”naik kelas” menjadi 3 dunia di bawah China dan Thailand karena total ekspor mencapai 168 ribu ton atau naik sebesar 21%.

Salah satu upaya menggeser China dan Thailand adalah perakitan jenis-jenis unggul yang tahan penyakit, berkembang cepat dan efisien dalam pemanfaatan pakan. Hasilnya, pelepasan Udang Unggul Vaname Global Gen yang telah memenuhi persyaratan, diyakini dapat menjadi batu loncatan dalam menggalakkan produksi udang vaname kita, tegas Fadel.

Dalam pengembangan usaha perikanan budidaya, penyediaan induk unggul dan benih bermutu merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha. Permasalahan penurunan kualitas, baik induk maupun benihnya masih sering ditemui dan pada akhirnya berdampak terhadap penurunan produktivitas pengembangan usaha budidaya di masyarakat.


sumber : www.sinartani.com

Tahun 2011 Pemerintah Cetak 32 Ribu Hektar Tambak Garam

Kementerian Kelautan dan Perikanan mentargetkan sepanjang tahun 2011 akan tercetak tidak kurang dari 32 ribu hektar lahan tambak garam yang baru. Pencetakan tambak baru ini ditujukan untuk mencapai swasembada garam nasional.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad saat mendampingi kunjungan kerja Wakil Presiden RI ke Ende Nusa Tenggara Timur, pekan lalu menjelaskan, untuk mewujudkan swasembada garam konsumsi pada tahun 2012 dan garam industri tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyiapkan anggaran sebesar Rp. 90 miliar yang akan didistribusikan ke 40 kabupaten kota di 10 provinsi.

“Anggaran sebesar Rp. 90 miliar tersebut akan disalurkan melalui Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR)” ujar Fadel.

Sebelumnya Fadel pernah mengungkap bahwa dari anggaran sebesar Rp. 90 M tersebut, komponen terbesar kegiatan ini berupa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar 70 % dari total anggaran yaitu Rp. 63 M dan sisanya sebesar Rp. 27 M dipergunakan untuk administrasi kegiatan pada Kabupaten/Kota lokasi sasaran.

BLM yang bukan berupa uang tunai ini ditujukan kepada kelompok masyarakat petambak garam (penggarap) yang pemanfaatannya adalah untuk pengembangan usaha garam rakyat berupa sarana dan prasarana produksi, pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan petambak garam.

BLM yang disalurkan kepada kelompok masyarakat petambak garam sesuai usulan Tim Pemberdayaan Masyarakat yang diajukan melalui proposal sederhana dengan menggunakan prinsip bottom up.

Sementara itu, di hadapan masyarakat dan Wakil Presiden Budiono, Fadel mengatakan, dengan alokasi anggaran tersebut maka diharapkan pada tahun 2011 akan terdapat 32 ribu hektar lahan tambak garam baru di 10 provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Gorontalo.


sumber : http://www.sinartani.com

Minggu, 13 Maret 2011

Larva Ikan dan pakannya

Pada kegiatan pembenihan ikan dimulai dari proses pemijahan ikan air tawar yang akan dihasilkan telur, larva dan benih ikan. Fase larva sangat menentukan keberhasilan suatu usaha pembenihan. Pada fase ini larva ikan mulai mengkonsumsi pakan yang diberikan pada media pemeliharaan karena kantong kuning telur yang terdapat pada tubuhlarva ikan air tawar ini hanya dapat memasok energi bagi larva sekitar 2-3 hari, Selanjutnya agar dapat bertahan hidup pada media pemeliharaan larva ikan air tawar ini harus sudah mulai belajar makan makanan yang berasal dari luar tubuhnya.

Larva adalah anak ikan yang baru menetas dari telur berukuran sangat kecil dan membawa cadangan makanan pada tubuhnya berupa kuning telur dan butiran minyak. Pada fase larva organ –organ tubuhnya belum sempurna karena masih dalam proses perkembangan. Pada fase ini jika larva tidak menemukan makanan dari luar pada saat cadangan makanan didalam tubuhnya habis maka larva tersebutakan mati. Oleh karena itu pada fase ini harus dapat diberikan pakan yang tepat jenisnya, tepat ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva dan mempunyai kandungan gizi yang tinggi karena pada fase larva masih dalam proses perkembangan seluruh organ-organ tubuh larva.

Pada fase larva pakan yang dikonsumsi oleh larva digunakan untuk proses morfogenesis, organogenesis dan metamorfosis. Oleh karena itu pakan yang diberikan pada larva harus benar-benar sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva, mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Pada fase larva belum banyak terjadi pertumbuhan karena seluruh energi yang diperoleh digunakan untuk ketiga proses tersebut.

Organ pencernaan pada fase larvabelum sempurna dimana saluran pencernaan dan mulut belum terbuka secara sempurna.

Dalam menentukan jenis pakan yang tepat harus diperhatikan tentang :
1. Perkembangan bukaan mulut larva agar dapatmenetapkan pakan yang tepat, pada umur berapa, jenis pakan dan ukuran pakan.Bukaan mulut larva ini berkaitan dengan kemampuan larva untuk memangsa pakanyang berasal dari luar. Ukuran pakan yang dapat dimangsa aoleh larva biasanyaadalah berkisar antara 30 – 50% dari bukaan mulut larva, misalnya ukuran bukaanmulut larva adalah 1 cm, maka pakan yang dapat dimangsa oleh larva ikanmaksimal berukuran 3 - 5 mm.
2. Kemampuan mencerna larva sangatdipengaruhi oleh enzim pencerna, produksi enzim dalam tubuh larva tubuh larvayang ditentukan oleh kelenjar enzim belum sempurna, oleh karena itu larva belum mampu mencerna pakan yangmasuk kedalam tubuhya. Berdasarkan hasil penelitian larva ikan lele, lambungnyabaru terbentuk pada usia 12 hari oleh karena itu pada usia larva belum adaenzim yang dapat mencerna makanan didalam tubuhnya dan pada fase tersebut pakanyang tepat diberikan adalah pakan alami yang didalam tubuh pakan alami terdapatenzim yang dapat mencerna makanan.
3. Pada fase larva mata belumberkembang secara sempurna sehingga untuk mendeteksi keberadaan pakan didalammedia pemeliharaan sangat terbatas. Oleh karena itu pada fase larva sebaiknyadipelihara pada wadah yang ukurannya terbatas dan kepadatan pakan alami didalammedia pemeliharaan cukup tinggi, agar larva dapat mengkonsumsi pakan.


Maka jenis pakan yang tepat diberikan kepda larva ikan air tawar adalah pakan alami karena pakan alami :
1. Mempunyai bentuk dan ukuranyang kecil sesuai dengan bukaan mulut larva.
2. Kandungan gizinya lengkap dancukup tinggi sangat dibutuhkan untuk proses perkembangan tubuh larva.
3. Isi selnya padat dan mempunyai dinding sel yang tipis sehingga mudah diserap, karena pada fase larva belum ada enzim yang akan mencerna pakan sehingga pakan alami mudah dicerna dalam saluran pencernaan larva dan didalam tubuh pakan alami terdapat enzim yang dapat melakukan autolisis sendiri sehingga dapat mudah dicerna oleh larva.
4. Tidak menyebabkan penurunankualitas air, karena pakan alami selama berada dalam media pemeliharaan larvatidak mengeluarkan senyawa beracun.
5. Pergerakan pakan alami relatif tidak terlalu aktif sehingga sangat mudah untuk ditangkap oleh larva.
6. Meningkatkan daya tahan larva terhadap penyakit dan perubahan kualitas air
7. Ketersediaan pakan alami relatif mudah dilakukan pembudidayaan karena cepat perkembang biakannya dan mudah dibudidayakan.

Karena itu jenis pakan yang tepat diberikan kepada larva ikan air tawar adalah pakan alami dari kelompok zooplankton. Jenis-jenis pakan alami yang biasa diberikan kepada larva ikan air tawar antara lain adalah Artemia salina, Daphnia, moinadan rotifer. Ukuran nauplii Artemia salina kurang lebih adalah 500 μm, Daphnia berukuran 2 kalilipat dari Moina, ukuran Moina dewasa adalah 700 – 1000 μm, sedangkan Moina mudaberukuran kurang dari 400 μm, ukuran rotifer air tawar adalah 130 – 340 μm.


refence : http://singkil.webs.com

Embriogeneis

Embriogenesis merupakan proses perkembangan dari zigot dengan perkembangan organ tubuh (organogenesis), sehingga terbentuk individu yang fungsional, meliputi proses: pembelahan, blastulasi, gastrulasi, dan neurulasi. Pembelahan merupakan suatu rangkaian proses mitosis yang berlangsung berturut-turut setelah terjadi fertilisasi. Pembelahan zigot terjadi secara cepat, sehingga sel anak tidak sempat tumbuh dan sel anak makin kecil sesuai dengan tingkat perkembangannya dan agar pembelahan menghasilkan sel anak yang anak disebut morula dan sel anak disebut blastomer. Besar morula tidak jauh berbeda dengan besar zygot karena selama pembelahan berlangsung, zona pelusida tetap utuh dan blastomer-blastomer saling terikat oleh suatu kekuatan yang disebut tigmotaksis. Bila blastomer suatu blastula katak dipisahkan secara mekanik, blastomer tersebut bergerak tidak menentu dan akan melekat pada blastomer lain bila saling bersentuhan.
Kecepatan pembelahan berbeda-beda tergantung dari tipe sel telur atau jumlah dan penyebaran yolk dalam sitoplasma sel telur. Makin banyak jumlah yolk makin lambat kecepatan pembelahannya.

Kecepatan pembelahan pada beberapa hewan ternak dapat diketahui berdasarkan perkiraan jumlah waktu (jam/hari) setelah ovulasi. Proses pembelahan terjadi di dalam tuba falopi dan pada akhirnya blastosis masuk ke dalam tanduk rahim. Pada waktu embrio (blastosis) sampai terakhir, cairan rahim mempunyai komposisi kimia yang berlainan dengan komposisi cairan ampula atau isthmus. Hal ini membuktikan bahwa embrio pada waktu muda (2-16 sel) memerlukan medium pertumbuhan yang khusus dan bila sudah masuk tahap lanjut (morula) medium juga harus sesuai. Cairan rahim yang terdapat dalam rahim sesuai untuk morula oleh karena itu bila embrio sampai ke dalam rahim belum berbentuk morula maka embrio ini akan mati.
Struktur umum dari sel telur ialah bentuknya bulat atau oval dan non motil (tidak bergerak sendiri) serta mengandung yolk sebagai sumber nutrisi. Luasnya sel telur dari masing-masing spesies berbeda-beda. Pada katak diamternya sekitar 2 mm, pada ikan 5mm, pada manusia 0,15 mm, pada mamalia umumnya antara 0,5-25 mm dan pada ikan hiu mempunyai diameter yang paling panjang hingga mencapai 140 mm.

Berdasarkan banyaknya yolk maka sel telur dari beberapa spesies dapat digolongkan menjadi 3 golongan yaitu
1) sel telur yang mengandung banyak yolk dan tertimbun pada salah satu area yang disebut polylesithal. Keadaan ini dijumpai pada sel telur dari bangsa unggas dan sel reptil. Perkembangan zygot dari sel telur jenis ini dari telur sampai menjadi anak berada dalam sel telur dan sama sekali tidak mendapatkan makanan dari induknya, karena persediaan makanan (yolk) dapat mencukupi kebutuhan bakal anak tersebut.
2) sel telur yang mengandung cukup banyak yolk dan tersebar, tetapi banyak yang tertimbun di daerah vegetal dan sel telur ini disebut mesolesithal, keadaan ini pada sel telur dari bangsa amphibia dan pisces. Sel-sel telur yang dikeluarkan dari induknya masih belum mengalami fertilisasi, karena itu sekali pun sel-sel telur itu telah dikeluarkan dari tubuh induknya, tidak akan dapat berkembang menjadi individu baru sebelum mengalami fertilisasi.
3) sel telur yang sedikit sekali atau hampir tidak mengandung yolk disebut oligolecithal. Keadaan ini dijumpai oleh sel telur dari bangsa mamalia dan manusia. Oleh karena keadaan yolknya demikian, maka perkembangan embrio sangat memerlukan jaminan dari induknya. Karena itu, perkembangan embrio dari bangsa ini berada didalam kandungan induk. Setelah berada dalam beberapa waktu tertentu induknya melahirkan. Kecuali pada Amphioxus, sebagai hewan pantai yang sedikit mengandung yolk pada sel telurnya.

Berdasarkan penyebaran yolk dalam sel telur, maka dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu:
1) sel telur tipe Isolecithal adalah sel telur yang mengandung yolk tersebar merata. Hal ini dapat dijumpai pada sel telur mamalia.
2) sel telur tipe Centrolecithal adalah sel telur yang mengandung yolk terkonsentrasi atau berkumpul di bagian tengah sel telur. Hal ini dapat dijumpai pada sel telur arthropoda.
3) sel telur tipe Telolecithal adalah sel telur yang mengandung yolk berkumpul di salah satu kutub sel telur. Hal ini dapat dijumpai pada sel telur unggas.

Berdasarkan tipe sel telur di atas, maka pembelahan dapat dibedakan atas:
1) Pembelahan Holoblastik, berarti seluruh sel telur membelah menjadi dua , membelah lagi dan seterusnya. Pembelahan holoblastik terbagi atas:
· Pembelahan holoblastik sempurna (equal): bidang pembelahan membagi sel telur menjadi dua blastomer yang sama besar sehingga pada akhir pembelahan diperoleh sejumlah blastomer yang seragam, seperti sel telur tipe isolecithal.
· Pembelahan holoblastik tidak sempurna (unequal): bidang pebelahan lebih banyak terjadi di salah satu kutub sel telur. Bila yolk banyak terdapat pada kutub vagetal, maka pembelahan lebih cepat terjadi di kutub animal dan ttterbentuk dua tipe blastomer, yaitu besar disebut Makromer dan kecil disebut Mikromer. Hal ini dijumpai pada sel telur tipe telolecithal.

2) Pembelahan Meroblastik, yang berarti mitosis tidak disertai oleh pembagian yolk sehingga pembagiannya adalah inti sel dan sitoplasma di kutub animal. Pembelahan meroblastik terbagi atas:
· Pembelahan meroblastik discoidal: terdapat pada sel telur politelolecithal seperti aves, reptilia, dan mamalia bertelur.
· Pembelahan meroblastik superficial: terdapat pada sel telur centrolecithal seperti arthropoda.


sumber : http://catatankuliah-heri.blogspot.com

Columnaris Disease

Penyebab : Flavobacterium columnare atau Fexibacterium columnare

Bio-Ekologi patogen:
• Bakteri gram negatif, berbentuk batang kecil, bergerak meluncur, dan terdapat di ekosistem air tawar.
• Sifat bakteri ini adalah berkelompok membentuk kumpulan seperti column.
• Serangan sering terjadi pada kelompok ikan pasca transportasi.
• Sifat serangan umumnya sub acut — acut, apabila insang yang dominan sebagai target organ, ikan akan mati lemas dan kematian yang ditimbulkannya bisa mencapai 100%.

Gejala klinis :
• Luka di sekitar mulut, kepala, badan atau sirip. Luka berwarna putih kecoklatan kemudian berkembang menjadi borok.
• Infeksi di sekitar mulut, terlihat seperti diselaputi benang (thread-like) sehingga sering disebut penyakit "jamur mulut".
• Di sekeliling luka tertutup oleh pigmen berwarna kuning cerah.
• Apabila menginfeksi insang, kerusakan dimulai dari ujung filamen insang dan merambat ke bagian pangkal, akhirnya filamen membusuk dan rontok (gill rot).

Diagnosa :
• Pengamanatan preparat tetes gantung secara mikroskopis (400x) untuk melihat adanya kolom bakteri pada organ target infeksi.
• Isolasi dan identifikasi melalui uji bio-kimia.

Pengendalian :
• Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
• Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Melalui perendaman dengan beberapa bahan kimia seperti
✓ Garam dapur 0,5% atau kalium permanganat 5 ppm selama 1 hari
✓ Acriflavine 5-10 ppm melalui perendaman selama beberapa hari.
✓ Chloramin B atau T 18-20 ppm melalui perendaman selama 2-3 hari.
✓ Benzalkonium chloride pada dosis 18-20 ppm selama 2-3 hari
✓ Oxolinic acid pada dosis 1 ppm selama 24 jam


sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010
budidaya ikan

Selasa, 08 Maret 2011

PRODUKSI PERIKANAN NAIK

[JAKARTA] Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad memaparkan,produksi perikanan indonesia tahun 2010 mencapai 10,83 juta ton atau naik 10,29% dibandingkan 2009 sebanyak 9,82 juta ton.


Target produksi perikanan sampai 2014,di patok 22,39 juta ton,terdiri atas pasokan dari perikanan budi daya 16,89 juta ton,dan sisanya dari perikanan tangkap.

Dalam sambutannya pada acara Outlook Perikanan 2011 yang di adakan Majalah Trobos dan GMPT(Asosiasi Produsen Pakan Indonesia),di Jakarta,Senin (7/2),Fadel Mengatakan,tahun ini Kementerian Kelautan dan Perikanan(KKP) menargetkan sasaran produksi ikan sebesar 12,26 juta ton.

Angka itu,kata Fadel,meningkat 13% dari produksi tahun lalu yang sebesar 10,85 juta ton.Peningkatan produksi diharapkan diikuti dengan kenaikan tingkat konsumsi ikan.


Data KKP menunjukkan,hingga akhir2010,tingkat konsumsi ikan mencapai 30,47 kg/kapita,meningkat dibandingkan konsumsi tahun 2009 yang sebesar 29,08 kg/kapita.

Fadel menambahkan,upaya peningkatan mutu produk perikanan budi daya untuk mendongkrak konsumsi sudah dilakukan.Untuk itu,KKP menerapkan sertifikasi Cara Budi Daya Ikan yang Baik(CBIB) bagi para pembudidaya ikan.Sampai 2010,sebanyak 650 unit usaha perikanan budidaya sudah disertifikasi.

Selain menghadirkan Fadel sebagai pembicara utama,acara yang mengambil tema Tahun Pertama Menuju 353 itu juga menghadirkan pakar pemasaran Kafi Kurnia yang membahas tentang tantangan dan strategi pemasaran produk perikanan.

Selain itu,pembicara Ketua AP51(Asosiasi Pengusaha Pengelolaan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia)Thomas Darmawan dan Ketua SCI(SHRIMP CLUB INDONESIA)Iwan Sutanto.



SUMBER:SUARA PEMBARUAN 8 FEBRUARI 2011 HAL 11

Isopodiasis

Penyebab : Nerocilla orbiguyi, Alitropus typus, dll.

Bio-Ekologi Patogen :
• Isopod yang merupakan parasit pemakan darah "blood feeder' yang berukuran relatif besar (10-50 mm), dan tubuhnya terdiri dari beberapa segmen yang dilengkapi dengan sepasang mata.
• Menginfeksi pada semua stadia ikan dan hampir semua jenis ikan rentan terhadap infeksi parasit ini terutama pada ikan-ikan bersisik.
• Menempel pada permukaan tubuh ikan, di dalam mulut, lubang hidung atau tutup insang.
• Penularan terjadi secara horizontal, dan pemicunya antara
lain karena kondisi perairan dan kepadatan yang tinggi.

Gejala Klinis :
• Luka serta pendarahan pada tempat gigitan, dan secara visual parasit ini tampak menempel pada tubuh ikan terutama di bawah sisik atau pada pangkal sirip.
• Hilang keseimbangan, lemah, dan nafsu makan turun.
• Nekrosa pada jaringan insang atau kulit ikan.
• Ikan lambat tumbuh, bahkan sering mengakibatkan kematian karena mengalami anemia atau karena infeksi sekunder oleh bakteri.

Diagnosa :
• Secara visual terlihat adanya parasit yang menempel pada tubuh ikan.

Pengendalian:
• Merontokkan parasit dalam wadah terbatas dengan bahan kimia yang mengandung bahan aktif dichlorfos pada konsentrasi 5 — 7 ppm selama 60 menit.
• Setelah parasit rontok, ikan dipindahkan ke wadah lain untuk mencegah adanya infeksi sekunder oleh bakteri pada bekas gigitan parasit.
• Menggunakan spot light pada malam hari untuk mengumpulkan parasit tersebut pada satu lokasi, kemudian diangkat dengan jaring.



sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, 2010