Senin, 04 April 2011

Lobster Hilang dari Perairan NTT

Lobster atau udang karang hilang dari perairan Nusa Tenggara Timur. Pengeboman tak terkendali dan karakteristik Laut Sawu tidak mendorong pergerakan ikan-ikan di perairan itu secara leluasa.

Konsentrasi perairan Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah Laut Sawu, sebagian wilayah Laut Flores, dan sebagian lagi Laut Timor. Namun, Laut Sawu memiliki karakter berbeda, mirip samudra. Laut itu langsung curang dengan jebakan-jebakan yang berpeluang bagi ikan bertelur, tetapi tidak mendorong ikan bermigrasi secara leluasa.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap dan Pengawasan Sumber Daya Alam Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Untung Sunardi di Kupang, Sabtu (3/4/2011) mengatakan, tidak semua ikan harus diolah, juga tidak semua ikan harus dikirim ke luar NTT. Ada jenis ikan tertentu sebagai konsumsi utama masyarakat, tetapi juga ada sejumlah jenis ikan yang tidak diminati konsumen.

"Ikan cakalang, kerapu, tembang, dan tuna yang cukup banyak di perairan NTT tidak diminati konsumen. Kalau dikeringkan, nilai ekonomis makin rendah. Selama masih segar nilai ekonomisnya tinggi. Ikan-ikan seperti ini harus dikirim ke luar NTT untuk diproses atau diekspor karena nilainya lebih tinggi," kata Untung.

Ikan cakalang, kakap, dan tuna sering ditemukan di laut dengan berat sampai 10 kg per ekor. Nelayan jarang menangkap ikan jenis ini karena masyarakat tidak suka mengonsumsi.

Masyarakat NTT lebih suka mengonsumsi ikan kembung berukuran kecil dan udang air payau. Meski ikan jenis ini dinilai mahal, dengan harga sampai Rp 20.000 per kg, paling disukai karena rasa gurih dan tidak banyak duri (tulang).

Menurut Untung, ikan-ikan di perairan NTT, khususnya Laut Sawu, suatu ketika bisa punah akibat penangkapan dan perburuan yang tak terkendali. Pengetahuan masyarakat mengenai kondisi Laut Sawu dengan kehidupan biota di dalamnya sangat minim.

Ikan lobster dan karapu, misalnya, saat ini semakin sulit ditemukan. Bahkan, lobster sama sekali tidak ada. Tahun 1980-an perairan NTT terkenal dengan lobster, dikirim sampai ke Australia. Karena pengeboman di sejumlah tempat, terumbu karang menjadi rusak dan lobster pun punah.

"Berbeda dengan perairan di Laut Banda dan Laut Arafura, dengan potensi ikan sangat besar dari berbagai jenis. Struktur dasar laut itu memberi kesempatan kepada ikan-ikan bermigrasi. Di sana ikan-ikan, termasuk lobster, pun turut bermigrasi, baik yang masuk dari luar maupun keluar," kata Untung.

Ketua Perhimpunan Nelayan Bolok, Kupang, La Udin Umar mengatakan, masyarakat NTT pada umumnya suka mengonsumsi ikan jenis kecil, seperti kembung, udang, dan kakap kecil. Ikan cakalang, kakap, hiu, dan pari dengan berat di atas 5 kg sering tidak laku di pasar atau membusuk.

"Jika ikan dengan berat di atas 3 kg ditangkap, langsung ditawarkan ke restaurant atau nelayan harus memotong ikan itu agar bisa diminati pembeli di pasar. Daya beli masyarakat memang rendah, selain masyarakat sangat selektif mengonsumsi ikan," kata Umar.

Ia mengakui, pesanan lobster dari sejumlah restauran di Kupang tidak dapat terlayani karena sulit didapat. Hanya udang budidaya air payau. Persediaan udang pun terbatas sehingga harga di pasar sampai Rp 60.000 per kg.

Kebijakan pemerintah melakukan konservasi terhadap Laut Sawu sangat tepat, tetapi harus lebih efektif dengan melibatkan masyarakat pesisir. Jika masyarakat sendiri dilibatkan, pengeboman ikan secara ilegal tetap terawasi.


sumber: kompas.com