Rabu, 29 Oktober 2008

sulap sampah

Sampah di Indonesia bagaikan momok. Sampah berserakan dari got, sungai, muara, sampai laut. Timbunan sampah di tempat pembuangan akhir menjadi lautan sampah yang mengerikan. Belum bicara dampak. Polusi udara, penyakit, sampai pemulung yang menjadi korban tertimpa dan terkubur timbunan sampah. akan tetapi, bagi Singapura, sampah justru menjadi "berkah". Bagi Singapura, lebih banyak sampah mungkin lebih bagus. Mengapa? Sampah yang dikumpulkan dengan manajemen yang rapi dan diolah dengan teknologi yang tinggi dimanfaatkan untuk membuat pulau.
Hal itu bukan lagi teori pengolahan sampah. Pemerintah Singapura telah membuat proyek penimbunan pulau dari bahan sampah. Sampah yang ditimbun di tempat itu sudah diolah sehingga bebas dari polusi dan pencemaran. Bagaimana hal itu dapat dilakukan tentu tidak terlepas dari manajemen sejak pengumpulan, pengangkutan, teknologi pengolahan sampah, hingga sistem pembuangan sampah yang terintegrasi dengan program pembangunan jangka panjang di Singapura.
Hampir di muka pada setiap bangunan, seperti rumah toko (ruko), restoran pinggir jalan, pusat-pusat perbelanjaan, atau sudut-sudut jalan di Singapura ditemukan tong-tong sampah plastik berukuran besar. Sampah dalam tong-tong itu dikumpulkan dan diangkut dengan truk setiap hari. Bahkan, di beberapa tempat, truk pengangkut bisa mengangkut dua kali dalam sehari. Mungkin sudah ratusan ribu tong sampah plastik berukuran besar yang tersebar di Singapura. Itu belum termasuk truk pengangkut.
Manajer Pemasaran Regional Mea Environment Guillaume Will Hohen memperkirakan sudah ratusan ribu tong sampah plastik yang diproduksi dan didistribusikan di Singapura. Selain itu, ada ratusan truk yang beroperasi untuk mengangkut sampah. Mea Environment merupakan perusahaan pembuat alat-alat prasarana pengolahan sampah, seperti tong sampah, mesin penyapu, sampai truk pengangkut sampah. Ada tong sampah yang dibuat terpisah sesuai jenis sampah, seperti sampah yang terbuat dari bahan kertas, kaleng, dan botol. Namun, ada pula tong sampah yang sudah tercampur baur berbagai jenis sampah, baik organik maupun anorganik. Sampah-sampah yang dikumpulkan setiap hari dari titik timbulan sampah kemudian diangkut dengan truk. Sampah itu kemudian dibawa dan diolah atau diproses di tempat pembakaran sampah (incineration plant).

Sistem digital
Di Singapura, ada empat pembakaran sampah. Salah satunya adalah Tuas South Incineration Plant (TSIP) yang dibangun tahun 1996 dan selesai dibangun tahun 2000. Nilai investasi TSIP mencapai 890 juta dollar Singapura atau Rp 5,2 triliun dengan nilai tukar Rp 5.900. Berbeda dengan tempat pembuangan akhir (TPA) di Bantar Gebang, Bekasi, tempat pembakaran sampah di Singapura merupakan tempat yang tertutup. Di tempat itu, dilakukan seluruh proses pengolahan sampah dengan teknologi sistem kontrol digital (digital control system/DCS).
Truk pengangkut sampah yang baru datang ke TSIP langsung ditimbang. Setelah ditimbang, truk-truk pengangkut sampah membuang sampah ke dalam bungker raksasa. Dari bungker, sampah diangkut dengan crane untuk dimasukkan ke tempat pembakaran.
Menurut seorang petugas di salah satu tempat pembakaran sampah yang enggan disebut namanya, sampah yang dibakar di tempat pembakaran sampah itu berasal dari berbagai jenis sampah. Mulai dari sampah organik seperti sayur, daging, atau sampah-sampah dari restoran sampai sampah anorganik seperti plastik.
Sistem pembakaran menggunakan sistem kontrol sehingga panas api menjadi teratur untuk menghasilkan pembakaran yang maksimal. Sampah yang sudah terbakar pun berubah menjadi abu dan ampas bijih (slag). Namun, sebelum abu dan ampas bijih diangkut ke tempat penimbunan pulau, abu dan ampas bijih disortir untuk mengambil bahan metal dengan alat sortir elektro magnetik. Senior Executive Corporate Communication Department dari National Environment Agency Mary Chin mengungkapkan, dalam sehari, diperkirakan ada 7.000 ton sampah dari masyarakat yang dibakar di tempat pembakaran sampah. Pembakaran sampah tidak mencemari udara karena menggunakan sistem sterilisasi atau filter.
Dari pengamatan Kompas, meskipun ribuan ton sampah dibakar, tidak terlihat asap hitam mengepul di atas cerobong asap di TSIP. Asap yang keluar pun terlihat tidak terlalu banyak dan warnanya putih. Lokasi di sekitar tempat pembakaran sampah pun bersih. Tak ada tumpukan sampah yang menggunung dan mengerikan seperti di tempat pembuangan akhir di Indonesia. Tak juga polusi udara yang mengganggu masyarakat. Dengan lokasi yang tertutup, tak satu pun orang yang boleh masuk. Sekalipun di Singapura ada pemulung, jangan harap pemulung dapat memasuki areal itu.

Manfaat
Dengan sistem pembakaran itu, banyak manfaat yang dapat diperoleh. Manfaatnya, uap panas dari pembakaran dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin dan pembangkit listrik. Dengan cara itu, tempat pengolahan sampah TSIP dapat memanfaatkan energi listrik. TSIP hanya mengonsumsi 20 persen dari energi listrik yang dihasilkan. Sisanya, 80 persen energi listrik yang dihasilkan, dijual.
Hasil pembakaran sampah, yaitu berupa abu, kemudian diangkut dengan alat angkut ke tongkang-tongkang raksasa. Tongkang kemudian ditarik dengan kapal kecil menuju Pulau Semakau.
Pulau Semakau sebenarnya merupakan pulau kecil dan berdekatan dengan dua pulau yang lebih kecil lagi. Ketiga pulau itu, termasuk perairan di antara ketiga pulau itu sudah "dipagari" dengan tanggul raksasa yang ditimbun dengan batu maupun pasir yang mengelilingi ketiga pulau itu.
Dari catatan National Environment Agency, Singapura, nilai investasi pembuatan "pagar" ketiga pulau dan wilayah perairan itu mencapai 610 juta dollar AS. Waktu yang dibutuhkan empat tahun.
Setelah ketiga pulau dan daerah perairan "dipagari" dengan tanggul, luasan wilayah dibuat menjadi bagian-bagian yang lebih kecil atau sekat-sekat (cell) melalui pembuatan tanggul juga. Jadi, ibarat tambak-tambak yang dibuat di tengah laut.
Air laut dari dalam "tambak" kemudian disedot dengan pompa dan dibuang ke laut. Setelah air laut menjadi rendah, barulah abu dari hasil pembakaran sampah dibuang ke tambak-tambak tersebut. Lambat laun, tambak-tambak di tengah laut menjadi daratan sehingga menjadi sebuah pulau.
Menurut Mary, abu hasil pembakaran sampah itu dibuang ke wilayah Pulau Semakau untuk memperluas daratan di Singapura. "Singapura sudah sulit lahan dan membutuhkan lahan yang luas di masa-masa mendatang," katanya. Sampai saat ini, sudah lima bagian atau "tambak" yang terisi dengan abu hasil pembakaran sampah. Selain abu hasil pembakaran sampah, sampah-sampah yang dihasilkan dari kawasan industri maupun hasil konstruksi bangunan juga dibuang di tempat itu. Dengan upaya itu, diharapkan, Pulau Semakau bertambah luas dan Singapura memiliki lahan yang lebih luas.
Diperkirakan, luasan daerah perairan yang ditimbun dengan abu hasil pembakaran sampah dan bahan-bahan lain itu baru dapat menjadi penuh dan menjadi sebuah pulau setelah tahun 2045 untuk mengantisipasi kebutuhan lahan di Singapura. Sebelum proyek itu dibuat, menurut Mary, abu hasil pembakaran sampah juga dimanfaatkan untuk proyek reklamasi di berbagai tempat. Dengan proyek di Pulau Semakau itu, sampah-sampah pun dapat lebih dimanfaatkan untuk pembuatan pulau sehingga menjadi "berkat" bagi Singapura.
Indonesia memang perlu belajar banyak untuk mengolah sampah. Pengolahan sampah ternyata harus dimulai dari sejak awal. Timbulan sampah, yaitu tempat-tempat yang rawan menghasilkan sampah, seperti pasar, permukiman, dan pusat-pusat perbelanjaan, perlu dilokalisasi.
Artinya, sampah-sampah harus cepat dibuang ke tempat sampah. Dengan demikian, sampah dapat lebih mudah diangkut. Untuk itu, diperlukan investasi tong sampah dalam jumlah yang besar, seperti tong-tong sampah plastik ada di hampir sudut-sudut bangunan dan jalan di Singapura.
Persoalannya, apakah masyarakat Indonesia mampu mendisiplinkan diri membuang sampah di tong sampah. Persoalan lainnya, apakah tong sampah "berumur panjang". Cepat atau lambat, tong sampah plastik berukuran besar menjadi rusak karena ulah tangan jahil.
Lebih parah lagi, tong-tong sampah yang ditempatkan di jalan-jalan atau tempat-tempat terbuka justru menjadi sasaran empuk pemulung. Plastik dari tong sampah mungkin diambil pemulung dan dijual dengan harga kiloan. Itu baru terkait dengan persoalan tong sampah. Padahal, tong sampah sangat penting untuk mengumpulkan sampah dan diangkut ke tempat pembuangan yang lebih besar.
Persoalan lain adalah apakah Pemerintah Indonesia, termasuk investor asing, berani dan mampu melakukan investasi ratusan juta dollar untuk pabrik pembakaran sampah. Pembakaran sampah dengan teknologi tinggi—tanpa polusi asap dan udara—merupakan investasi padat modal. Akan tetapi, Indonesia seharusnya mulai dan berani menerapkan sistem pengolahan sampah dengan sistem pembakaran.
Jika tidak dibakar, apakah sampah yang terus diproduksi hari per hari akan terus ditumpuk di TPA-TPA. Kehadiran TPA-TPA di daerah perbatasan kadang menimbulkan konflik antardaerah karena masyarakat di satu daerah tidak menginginkan daerahnya dijadikan TPA.